KETENTUAN-KETENTUAN PANTUN DAN SYAIR


Pantun merupakan puisi yang memiliki ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
  1. Terdiri dari 4 baris
  2. Setiap baris terdiri atas 8 sampai 12 suku kata
  3. 2 baris pertama merupakan sampiran dan 2 baris berikutnya merupakan isi pantun
  4. Pantun mementingkan rima akhir dengan pola ab-ab.
Syair merupakan bentuk puisi lama yang dipengaruhi kebudayaan arab. Syair memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
  1. Terdiri dari atas 4 baris
  2. Tiap baris terdiri atas 8 - 10 suku kata
  3. Semuanya merupakan isi
  4. Berima akhir aaaa

MEMBACAKAN PUISI DENGAN LAFAL, NADA, TEKANAN, TEKANAN, DAN INTONASI YANG TEPAT

Lafal adalah cara seseorang atau sekelompok orang dalam suatu masyarakat bahasa saat mengucapkan bunyi bahasa.
Tekanan adalah keras lunaknya pengucapan suatu kata.
Intonasi adalah naik turunnya lagu kalimat.
Jeda adalah hentian arus ujaran dalam pembacaan puisi yang ditentukan oleh peralihan lirik.

MANAJEMEN PENDIDIKAN

Manajemen pendidikan merupakan hal yang harus diprioritaskan untuk kelangsungan pendidikan, sehingga menghasilkan keluaran yang diinginkan. Kenyataannya, banyak institusipendidikan yang belum memiliki manajemen yang bagus dalam pengelolaan pendidikannya.

Pendidikan yang visioner, memiliki misi yang jelas akan menghasilkan keluaran yang berkualitas. Dari sanalah pentingnya manajemen pendidikan diterapkan.

Manajemen yang digunakan masih konvensional, sehingga kurang bisa menjawab tantangan zaman dan terkesan tertinggal dari modernitas. Hal ini mengakibatkan sasaran-sasaran ideal pendidikan yang seharusnya bisa dipenuhi ternyata tidak bisa diwujudkan. Parahnya, terkadang para pengelola pendidikan tidak menyadari akan hal itu.

Manajemen pendidikan merupakan suatu proses untuk mengkoordinasikan berbagai sumber daya pendidikan seperti guru, sarana dan prasarana pendidikan seperti perpustakaan, laboratorium , dsb untuk mencapai tujuan dan sasaran pendidikan. Yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.

Dalam perkembangannya, manajemen pendidikan memerlukan /Good Management Practice /untuk pengelolaannya. Tetapi pada prakteknya, ini masih merupakan suatu hal yang elusif. Banyak penyelenggara pendidikan yang beranggapan bahwa hal tersebut bukanlah suatu hal yang penting, Beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait manajemen pendidikan antara lain: 

1. Sasaran Pendidikan: Aspek afektif 
Salah satu isu utama keberhasilan pendidikan adalah sejauh mana tingkat afektifitas yang dimiliki oleh anak didik, apakah menjadi lebih saleh, berbudi pekerti, memiliki rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Inilah tantangan yang harus dijawab oleh pendidikan. 

2. Manajemen Guru 
Sampai saat ini, guru sebagai salah satu sumber daya terpenting pendidikan masih undermanaged atau bahkan mismanaged. Pimpinan pendidikan pada umumnya masih melihat guru sebagai faktor produksi saja. Padahal manajemen guru , adalah suatu hal yang sangat penting untuk keberhasilan suatu pendidikan. 

3. Peningkatan Pengawasan 
Dalam manajemen pendidikan, fungsi pengawasan sepertinya menempati posisi terlemah. Masih banyak aspek pendidikan yang berkaitan dengan pencapaian sasaran yang masih luput dari pengawasan. 

4. Manajer Pendidikan
Keberhasilan manajemen pendidikan tidak bisa dilepaskan dari peran serta manajer/pengelola pendidikan. Selama ini banyak peran ganda yang dijalankan oleh komponen pendidikan, seperti guru menempati posisi sebagai kepala institusi pendidikan. Efisiensi biaya sering dijadikan alasan, meski urusan manajemen sangat berbeda dengan urusan belajar-mengajar. 

5. Partisipasi Manajer Bisnis
Dalam membenahi manajemen pendidikan, tidak ada salahnya bagi penyelenggara pendidikan untuk memanfaatkan keterampilan menajerial para manajer bisnis . Fungsi manajemen bersifat universal dan keterampilan manajemen dapat ditransfer dari satu bidang ke bidang lain. 

6. Aliansi antar sekolah 
Aliansi antar institusi pendidikan bisa menjadi jalan memajukan institusi pendidikan, sehingga dapat belajar dari good management practice lembaga pendidikan lain. 

7. Kebijakan Pemerintah 
Faktor eksternal berupa keterlibatan pemerintah dalam pendidikan juga mempengaruhi manajemen pendidikan di negara tersebut. Singkatnya, manajemen pendidikan sangat diperlukan oleh semua pihak yang terkait dengan pendidikan. Meski demikian, penerapannya ternyata tidak sesederhana yang dibayangkan. Ada banyak tantangan dan problematika yang harus dihadapi, Semua pihak harus bekerja sama menyelesaikan problematika tersebut agar cita-cita pendidikan bisa terealisasi.

Sumber : http://www.artikelbagus.com/2012/03/artikel-manajemen-pendidikan.html

MUTU PENDIDIKAN

Pemahaman dan pandangan tentang mutu pendidikan selama ini sangat beragam. Orangtua memandang pendidikan yang bermutu sebagai lembaga pendidikan yang megah, gedung sekolah yang kokoh dengan genting yang memerah bata, taman sekolah yang indah, dan seterusnya. Para ilmuwan memandang pendidikan bermutu sebagai sekolah yang siswanya banyak menjadi pemenang dalam berbagai lomba atau olimpiade di tingkat nasional, regional, maupun internasional. Repatriat mempunyai pandangan yang berbeda lagi. Sekolah yang bermutu adalah sekolah yang memberikan mata pelajaran bahasa asing bagi anak-anaknya. Orang kaya tentu memiliki pandangan yang berbeda pula. Pendidikan yang bermutu adalah pendidikan yang diperoleh anaknya dengan membayar uang sekolah yang setinggi langit untuk memperoleh berbagai paket kegiatan ekstrakurikuler. Berbagai predikat lembaga pendidikan sekolah telah lahir, seperti sekolah favorit, sekolah unggulan, sekolah plus, kelas unggulan. Ada pula berbagai predikat lembaga pendidikan yang juga muncul bak jamur di musim penghujan, seperti boarding school, full day school, sekolah nasional berwawasan internasional, sekolah alam, dan sekolah berwawasan internasional. Semua sebutan itu tidak lain untuk menunjukkan aspek mutu pendidikan yang akan diraihnya.

Lalu, bagaimana sesungguhnya pendidikan yang bermutu tersebut? Dalam tulisan singkat ini akan dijelaskan secara sekilas tentang pandangan UNESCO tentang beberapa dimensi mutu pendidikan. Uraian tentang dimensi mutu pendidikan itu tertuang dalam buku EFA Global Monitoring Report 2005 atau Laporan Pemantauan Global Pendidikan Untuk Semua. Setiap tahun, UNESCO menerbitkan laporan tentang perkembangan pendidikan, baik pendidikan formal dan pendidikan informal, di berbagai belahan dunia.

Dalam bentuk diagramtis dimensi mutu pendidikan digambarkan sebagai berikut:

Berdasarkan diagram tersebut, tampak bahwa setidaknya ada lima dimensi yang terkait dengan mutu pendidikan.

Pertama, karakteristik pembelajar (learner characteristics)
Dimensi ini sering disebut sebagai masukan (inputs) atau malah masukan kasar (raw inputs) dalam teori fungsi produksi (production function theory), yaitu peserta didik atau pembelajar dengan berbagai latar belakangnya, seperti pengetahuan (aptitude), kemauan dan semangat untuk belajar (perseverance), kesiapan untuk bersekolah (school readiness), pengetahuan siap sebelum masuk sekolah (prior knowledge), dan hambatan untuk pembelajaran (barriers to learning) terutama bagi anak luar biasa. Banyak factor latar belakang peserta didik yang sangat mempengaruhi mutu pendidikan di negeri ini. Banyak anak usia sekolah yang tidak didukung oleh kondisi yang kondusif, misalnya peserta didik yang berasal dari keluarga tidak mampu, keluarga pecah (broken home), kesehatan lingkungan, pola asuh anak usia dini, dan faktor-faktor lain-lainnya. Dimensi ini menjadi faktor awal yang mempengaruhi mutu pendidikan.   

Kedua, pengupayaan masukan (enabling inputs)
Ada dua macam masukan yang akan mempengaruhi mutu pendidikan yang dihasilkan, yaitu sumber daya manusia dan sumber daya fisikal. Guru atau pendidik, kepala sekolah, pengawas, dan tenaga kependidikan lain menjadi sumber daya manusia (human resources) yang akan mempengaruhi mutu hasil belajar siswa (outcomes). Proses belajar mengajar tidak dapat berlangung dengan nyaman dan aman jika fasilitas belajar, seperti gedung sekolah, ruang kelas, buku dan bahan ajar lainnya (learning materials), media dan alat peraga yang dapat diupayakan oleh sekolah, termasuk perpustakaan dan laboratorium, bahkan juga kantin sekolah, dan fasilitas pendidikan lainnya, seperti buku pelajaran dan kurikulum yang digunakan di sekolah. Semua itu dikenal sebagai infrastruktur fisikal (physical infrastructure atau facilities). Singkat kata, mutu SDM yang tersedia di sekolah dan mutu fasilitas sekolah merupakan dua macam masukan yang sangat berpengaruh terhadap mutu pendidikan.

Ketiga, proses belajar-mengajar (teaching and learning)
Dimensi ketiga ini sering disebut sebagai kotak hitam (black box) masalah pendidikan. Dalam kotak hitam ini terdapat tiga komponen utama pendidikan yang saling berinteraksi satu dengan yang lain, yaitu peserta didik, pendidik, dan kurikulum. Tanpa peserta didik, siapa yang akan diajar? Tanpa pendidik, siapa yang akan mengajar, dan tanpa kurikulum, bahan apa yang akan diajarkan? Oleh karena itu mutu proses belajar mengajar, atau mutu interaksi edukatif yang terjadi di ruang kelas, menjadi faktor yang amat berpengaruh terhadap mutu pendidikan. Efektivitas proses belajar-mengajar dipengaruhi oleh: (1) lama waktu belajar, (2) metode mengajar yang digunakan, (3) penilaian, umpan balik, bentuk penghargaan bagi peserta didik, dan (4) jumlah peserta didik dalam satu kelas.

Ruang kelas di Indonesia sangat kering dengan media dan alat peraga. Pakar pendidikan, Dr. Arif Rahman, M.Pd. sering menyebutkan bahwa ruang kelas kita ibarat menjadi penjara bagi anak-anak. Jika diumumkan ada rapat dewan pendidik, dalam arti tidak ada kelas, maka bersoraklah para siswa, ibarat keluar dari pintu penjara tersebut. Sesungguhnya, di sinilah kelemahan terbesar pendidikan di negeri ini. Proses belajar mengajar di ruang kelas kita sangat kering dari penggunaan teknik penguatan (reinforcement), kering dari penggunaan media dan alat peraga yang menyenangkan. Dampaknya, dapat diterka, yaitu hasil belajar yang belum memenuhi standar mutu yang ditentukan. Sentral permasalahan lemahnya proses belajar mengajar di dalam kelas ini, sebenarnya sudah diketahui, yakni kualifikasi dan kompetensi guru. Setengah guru kita belum memenuhi standar kualifikasi. Apalagi dengan standar kompetensinya. Timbullah istilah ‘guru tak layak’. Belum lagi dengan masalah kesejahteraannya. Ada pendapat yang menyatakan bahwa semua masalah bersumber dari masalah kesejahteraan. Memang, kesejahteraan guru menjadi salah satu syarat agar guru dapat disebut sebagai profesi, selain (1) memerlukan keahlian, (2) keahlian itu diperoleh dari proses pendidikan dan pelatihan, (3) keahlian itu diperlukan masyarakat, (4) punya organisasi profesi, (5) keahlian yang dimiliki dibayar dengan gaji yang memadai (Suparlan, 2006).    

Keempat, hasil belajar (outcomes)
Hasil belajar adalah sasaran yang diharapkan oleh semua pihak. Di sini memang terjadi perbedaan harapan dari pihak-pihak tersebut. Pihak dunia usaha dan industri (DUDI) mengharapkan lulusan yang siap pakai. Pendidikan kejuruan dipacu agar dapat memenuhi harapan ini. Sedang pihak praktisi pendidikan pada umumnya cukup berharap lulusan yang siap latih. Alasannya, agar DUDI dapat memberikan peran lebih besar lagi dalam memberikan pelatihan.

Setidaknya, semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan menghasilkan lulusan yang dapat membaca dan menulis (literacy), berhitung (numeracy), dan kecakapan hidup (life skills) Ini memang pasti.  Selain itu, peserta didik harus memiliki kecerdasan emosional dan sosial (emotional dan social intelligences), nilai-nilai lain yang diperlukan masyarakat. Terkait dengan berbagai macam kecerdasan, Howard Gardner menegaskan bahwa “satu-satunya sumbangan paling  penting untuk perkembangan anak adalah membantunya untuk menemukan bidang yang paling cocok dengan bakatnya” (Daniel Goleman, 2002: 49, dalam Suparlan, 2004: 39). Hasil belajar yang akan dicapai sesungguhnya yang sesuai dengan potensinya, sesuai dengan bakat dan kemampuannya, serta sesuai dengan tipe kecerdasannya, di samping juga nilai-nilai kehidupan (values) yang diperlukan untuk memeliharan dan menstransformasikan budaya dan kepribadian bangsa. Dalam perspektif psikologi pendidikan dikenal sebagai ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Dalam perspektif sosial dikenal dengan istilah 3H (head, heart, hand). Tokoh pendidikan dari Minang mengingatkan bahwa “Dari pohon rambutan jangan diminta berbuah mangga, tapi jadikanlah setiap pohon mangga itu menghasilkan buah mangga yang manis” (Muhammad Sjafei, INS). Semua itu pada dadarnya untuk mencapai tujuan pendidikan nasional “…. berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab” (Pasal 3 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional).  

Kelima, konteks (contexts) atau lingkungan (environments)
Keempat dimensi yang telah dijelaskan tersebut saling pengaruh-mempengaruhi dengan konteks (contexts) atau lingkungan (environments) yang meliputi berbagai aspek alam, sosial, ekonomi, dan budaya, sebagai berikut:
  • Economics and labour market conditions in the community atau kondisi pasar ekonomi dan pasar dalam masyarakat.
  • Socio-cultural and religious factors atau faktor religius dan sosip-kultural.
  • Educational knowledge and support infrastructure atau pengetahuan dan infrastruktur yang mendukung dunia pendidikan.
  • PUBLIC RESOURCES AVAILABLE FOR EDUCATION atau ketersediaan sumber-sumber masyarakat untuk pendidikan.
  • Competitiveness of the teaching profession on the labour market atau daya saing profesi mengajar pada pasar tenaga kerja.
  • National governance and management strategies atau strategi manajemen dan tata kelola pemerintahan.
  • Philosophical standpoint of teacher and learner atau pandangan filosofis guru dan peserta didik.
  • Peer effects atau pengaruh teman sebaya.
  • PARENTAL SUPPORT atau dukungan orangtua atau keluarga.
  • Time available for schooling and home works atau ketersediaan waktu untuk sekolah dan PR.
  • National standards atau standar-standar nasional.
  • PUBLIC EXPECTATIONS atau harapan masyarakat.
  • Labour market demands permintaan pasar tenaga kerja.
  • Globalization atau globalisasi.
Pada awalnya, peran orangtua (rumah) dan keluarga belum dipandang sebagai dimensi yang benar-benar berpengaruh terhadap mutu pendidikan. Sekarang dukungan orangtua menjadi salah satu faktor yang berpengaruh terhadap hasil belajar peserta didik. Dalam kajian tentang sekolah efektif (effective school), dukungan orangtua siswa dan masyarakat menjadi salah satu faktor dalam sekolah efektif.

Hasil lima kajian tentang sekolah efektif menjelaskan tentang faktor-faktor dalam sekolah efektif dapat dijelaskan dalam tabel berikut: 

Tabel 1 Hasil Lima Studi Tentang Sekolah Efektif 
Purkey & Smith,
1983
Levine & Lezotte, 1990
Scheerens,
1992
Cotton,
1995
Sammons, Hillman & Mortimore, 1995
·    Strong leadership ·  Outstanding leadership ·  Educational leadership ·   School management and organization, leadership and school inprovement, leadership and planning ·    Professional leadership
·    Clear goals on basic skills ·  Focus on central learning skills ·  - ·   Planning and learning goals and school-wide emphasis on learning ·    Concentration on teaching and learning
·    Orderly climate, achievement-oriented policy, cooperative atmosphere ·  Productive climate and culture ·  Pressure to achieve, consensus, cooperative planning, orderly atmosphere ·   Planning and learning goals, curriculum planning and development ·    Shared vision and goals, a learning environment, positive reinforcement
·    High expectations ·  High expectations ·  - ·   Strong teacher-student interaction ·    High expectation
·    Frequent evaluation ·  Appropriate monitoring ·  Evaluative potential of the school, monitoring of pupil progress ·   Assessment (district, school, classroom level) ·    Monitoring progress
·    Time on task, reinforcement, streaming ·  Effective instructional arrangements ·  Structured teaching, effective learning time, opportunity to learn ·   Classroom management, organization and instruction ·    Purposeful teaching
·    In-service training/ staff development ·  Practice-oriented staff development ·  - ·   Professional development and collegial learning ·    A learning organization
·   - ·  Slient parental involvement ·  Parent support ·   Parent-community involvement ·   Home-school partnership
·    - ·  - ·  External stimuli to make schools effective
·  Phisical and material school characteristics

·  Teacher experience

·  School context characteristics
·   Distinct school interactions
·   Equity

·   Special programmes
·    Pupil rights and responsibilities
 Sumber: EFA Global Monitoring Report 2005, hal. 66
 Tabel tersebut menjelaskan bahwa salah satu faktor sekolah efektif dikenal sebagai ‘keterlibatan orangtua’, ‘dukungan orangtua’, ‘keterlibatan orangtua-msyarakat’, atau ‘hubungan keluarga-sekolah’. Dari beberapa faktor sekolah efektif tersebut, hasil studi di negara maju menunjukkan adanya lima faktor yang paling berpengaruh terhadap efektivitas suatu sekolah (EFA Global Monitoring Report 2005, hal. 66), yaitu:
  1. strong eduational leadership -> terkait dengan pendidik dan tenaga kependidikan (masukan); 
  2. emphasis on acquiring basic skills -> terkait dengan kurikulum (masukan; 
  3. an orderly and secure environment -> terkait dengan konteks (lingkungan); 
  4. high expectations of pupil attainment -> terkait dengan peserta didik (masukan kasar); 
  5. frequent assessment of pupil progress -> terkait dengan proses belajar-mengajar (proses).  
Apabila dikaitkan antara kelima faktor sekolah efektif tersebu dengan lima dimensi mutu pendidikan yang telah dijelaskan sebelumnya, tampak nyata bahwa kelima faktor tersebut dalam tulisan ini juga dikenal sebagai dimensi-dimensi mutu pendidikan. Dengan kata lain, dapat disebutkan bahwa sekolah efektif tidak lain dan tidak bukan adalah juga sebutan untuk pendidikan yang bermutu. Sudah tentu juga ditambah dengan faktor-faktor sekolah efektif lainnya, termasuk peran dan dukungan orangtua dan masyarakat, yang diwadahi dalam lembaga yang dikenal dengan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah.

Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan di muka, dapatlah ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: (1) mutu pendidikan memiliki lima dimensi yang saling terkait, (2) lima dimensi mutu pendidikan pada hakikatnya juga merupakan faktor-faktor yang membentuk sekolah efektif, (3) sekolah yang efektif, dengan kata lain, dapat disebut sebagai sekolah yang bermutu, (3) dukungan orangtua dan masyarakat terhadap upaya peningkatan mutu pendidikan disalurkan melalui wadah lembaga sosial yang kini dikenal dengan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. 
Jakarta, 21 Februari 2007.

Bahan Pustaka
Dedi Supriadi (Ed.). 2003. Guru di Indonesia, Pendidikan, Pelatihan, dan Perjuangannya Sejak Zaman Penjajahan Hingga Era Reformasi. Jakarta: Direktorat Tenaga Kependidikan.
Goleman, Daniel. 2002. Emotional Intelligence. Jakarta: Gramedia.
http://www.suparlan.com
http://www.swopnet.com
Suparlan. 2004. Mencerdaskan Kehidupan Bangsa, Dari Konsepsi Sampai Dengan Implementasi. Yogyakarta: Hikayat.
Suparlan. 2005. Menjadi Guru Efektif. Yogyakarta: Hikayat.
Suparlan. 2006. Guru Sebagai Profesi. Yogyakarta: Hikayat.

SISTEM PENDIDIKAN

Ketika dunia pendidikan kembali dituding telah gagal membentuk watak mulia pada anak didik. Maka, seperti biasa, segera muncul saran untuk memperbaiki kurikulum atau muatan pada mata ajaran. Tapi, bila sebelumnya yang dipersoalkan hanya sebatas masalah mata pelajaran atau paling jauh struktur kurikulum, Ajip Rosidi dan mungkin banyak dari kalangan pemerhati dan pelaku pendidikan, mempersoalkan hal yang lebih mendasar. Yakni tentang sistem pendidikan nasional yang ditudingnya masih mewarisi sistem pendidikan kolonial.

Diakui atau tidak, sistem pendidikan yang berjalan di Indonesia saat ini memang adalah sistem pendidikan yang sekular-materialistik. Bila disebut bahwa sistem pendidikan nasional masih mewarisi sistem pendidikan kolonial, maka watak sekuler-materialistik inilah yang paling utama, yang tampak jelas pada hilangnya nilai-nilai transedental pada semua proses pendidikan.

Sistem pendidikan semacam ini terbukti telah gagal melahirkan manusia shaleh yang sekaligus mampu menjawab tantangan perkembangan melalui penguasaan sains dan teknologi. Secara kelembagaan, sekularisasi pendidikan menghasilkan dikotomi pendidikan yang sudah berjalan puluhan tahun, yakni antara pendidikan “agama” di satu sisi dengan pendidikan umum di sisi lain. Pendidikan agama melalui madrasah, institut agama dan pesantren dikelola oleh Departemen Agama, sementara pendidikan umum melalui sekolah dasar, sekolah menengah dan kejuruan serta perguruan tinggi umum dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional.

Disadari atau tidak, berkembang penilaian bahwa hasil pendidikan haruslah dapat mengembalikan investasi yang telah ditanam. Pengembalian itu dapat berupa gelar kesarjanaan, jabatan, kekayaan atau apapun yang setara dengan nilai materi yang telah dikeluarkan. Agama ditempatkan pada posisi yang sangat individual. Nilai transendental dirasa tidak patut atau tidak perlu dijadikan sebagai standar penilaian sikap dan perbuatan. Tempatnya telah digantikan oleh etik yang pada faktanya bernilai materi juga.

Pendidikan Sekuler bagian dari Kehidupan Sekuuler
Sistem pendidikan yang material-sekuleristik tersebut sebenarnya hanyalah merupakan bagian belaka dari sistem kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang juga sekuler. Dalam sistem sekuler, aturan-aturan, pandangan dan nilai-nilai Islam memang tidak pernah secara sengaja digunakan untuk menata berbagai bidang, termasuk bidang pendidikan. Agama Islam, sebagaimana agama dalam pengertian Barat, hanya ditempatkan dalam urusan individu dengan tuhannya saja. Maka, di tengah-tengah sistem sekuleristik tadi lahirlah berbagai bentuk tatanan yang jauh dari nilai-nilai agama. Yakni tatanan ekonomi yang kapitalistik, perilaku politik yang oportunistik, budaya hedonistik, kehidupan sosial yang egoistik dan individualistik, sikap beragama yang sinkretistik serta paradigma pendidikan yang materialistik.

Solusi Fundamental
Pendidikan yang materialistik adalah buah dari kehidupan sekuleristik yang terbukti telah gagal menghantarkan manusia menjadi sosok pribadi yang utuh, yakni seorang Abidu al-Shalih yang muslih. Hal ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, paradigma pendidikan yang keliru dimana dalam sistem kehidupan sekuler, asas penyelenggaraan pendidikan juga sekuler. Tujuan pendidikan yang ditetapkan juga adalah buah dari paham sekuleristik, yakni sekedar membentuk manusia-manusia yang berpaham materialistik dan serba individualistik.

Kedua, kelemahan fungsional pada tiga unsur pelaksana pendidikan, yakni (1) kelemahan pada lembaga pendidikan formal yang tercermin dari kacaunya kurikulum serta tidak berfungsinya guru dan lingkungan sekolah/kampus sebagai medium pendidikan sebagaimana mestinya, (2) kehidupan keluarga yang tidak mendukung, dan (3) keadaan masyarakat yang tidak kondusif .

Tidak berfungsinya guru/dosen dan rusaknya proses belajar mengajar tampak dari peran guru yang sekadar berfungsi sebagai pengajar dalam proses transfer ilmu pengetahuan (transfer of knowledge), tidak sebagai pendidik yang berfungsi dalam transfer ilmu pengetahuan dan kepribadian (transfer of personality), karena memang kepribadian guru/dosen sendiri banyak tidak lagi pantas diteladani.

Lemahnya pengawasan terhadap pergaulan anak dan minimnya teladan dari orang tua dalam sikap keseharian terhadap anak-anaknya, makin memperparah terjadinya disfungsi rumah sebagai salah satu unsur pelaksana pendidikan.

Sementara itu, masyarakat yang semestinya menjadi media pendidikan yang riil justru berperan sebaliknya akibat dari berkembangnya sistem nilai sekuler yang tampak dari penataan semua aspek kehidupan baik di bidang ekonomi, politik, termasuk tata pergaulan sehari-hari yang bebas dan tak acuh pada norma agama; berita-berita pada media masa yang cenderung mempropagandakan hal-hal negatif seperti pornografi dan kekerasan, serta langkanya keteladanan pada masyarakat. Kelemahan pada unsur keluarga dan masyarakat ini pada akhirnya lebih banyak menginjeksikan beragam pengaruh negatif pada anak didik. Maka yang terjadi kemudian adalah sinergi pengaruh negatif kepada pribadi anak didik.

Oleh karena itu, penyelesaian problem pendidikan yang mendasar harus dilakukan pula secara fundamental, dan itu hanya dapat diujudkan dengan Oleh karena itu, penyelesaian problem pendidikan yang mendasar harus dilakukan pula secara fundamental, dan itu hanya dapat diujudkan dengan melakukan perbaikan secara menyeluruh yang diawali dari perubahan paradigma pendidikan sekuler menjadi paradigma Islam. Sementara pada tataran derivatnya, kelemahan ketiga faktor di atas diselesaikan dengan cara memperbaiki strategi fungsionalnya sesuai dengan arahan Islam.

Solusi pada Tataran Paradigmatik.
Secara paradigmatik, pendidikan harus dikembalikan pada asas aqidah Islam yang bakal menjadi dasar penentuan arah dan tujuan pendidikan, penyusunan kurikulum dan standar nilai ilmu pengetahuan serta proses belajar mengajar, termasuk penentuan kualifikasi guru/dosen serta budaya sekolah/kampus yang akan dikembangkan. Sekalipun pengaruhnya tidak sebesar unsur pendidikan yang lain, penyediaan sarana dan prasarana juga harus mengacu pada asas di atas.

Melihat kondisi obyektif pendidikan saat ini, langkah yang diperlukan adalah optimasi pada proses-proses pembentukan kepribadian Islam (syakhshiyyah Islamiyyah) dan penguasaan tsaqofah Islam serta meningkatkan pengajaran sains-teknologi dan keahlian sebagaimana yang sudah ada dengan menata ontologi, epistemologi dan aksiologi keilmuan yang berlandaskan pada nilai-nilai Islam, sekaligus mengintegrasikan ketiganya.)

Solusi pada Tataran Strategi Fungsional

Pendidikan yang integral harus melibatkan tiga unsur pelaksana: yaitu keluarga, sekolah/kampus dan masyarakat. Buruknya pendidikan anak di rumah memberi beban berat kepada sekolah/kampus dan menambah keruwetan persoalan di tengah masyarakat. Sementara, situasi masyarakat yang buruk jelas membuat nilai-nilai yang mungkin sudah berhasil ditanamkan di tengah keluarga dan sekolah/kampus menjadi kurang optimum. Apalagi bila pendidikan yang diterima di sekolah juga kurang bagus, maka lengkaplah kehancuran dari tiga pilar pendidikan tersebut.

Dalam pandangan sistem pendidikan Islam, semua unsur pelaksana pendidikan harus memberikan pengaruh positif kepada anak didik sedemikian sehingga arah dan tujuan pendidikan didukung dan dicapai secara bersama-sama, Kondisi tidak ideal seperti diuraikan di atas harus diatasi.

Solusi strategis fungsional sebenarnya sama dengan menggagas suatu sistem pendidikan alternatif yang bersendikan pada dua cara yang lebih bersifat strategis dan fungsional, yakni: Pertama, membangun lembaga pendidikan unggulan dimana semua komponen berbasis paradigma Islam, yaitu: (1) kurikulum yang paradigmatik, (2) guru/dosen yang profesional, amanah dan kafa’ah, (3) proses belajar mengajar secara Islami, dan (4) lingkungan dan budaya sekolah/kampus yang kondusif bagi pencapaian tujuan pendidikan secara optimal. Dengan melakukan optimasi proses belajar mengajar serta melakukan upaya meminimasi pengaruh-pengaruh negatif yang ada, dan pada saat yang sama meningkatkan pengaruh positif pada anak didik, diharapkan pengaruh yang diberikan pada pribadi anak didik adalah positif sejalan dengan arahan Islam.

Kedua, membuka lebar ruang interaksi dengan keluarga dan masyarakat agar keduanya dapat berperan optimal dalam menunjang proses pendidikan. Sinergi pengaruh positif dari faktor pendidikan sekolah/kampus – keluarga – masyarakat inilah yang akan membuat pribadi anak didik terbentuk secara utuh sesuai dengan kehendak Islam.

Berangkat dari paparan di atas, maka untuk mewujudkan lembaga pendidikan unggulan yang dimaksud setidaknya terdapat empat komponen yang harus dipersiapkan guna menunjang tindak solusif sebagaimana yang digagas, yakni penyiapan kurikulum paradigmatik, sistem pengajaran, sarana prasarana dan sumberdaya guru/dosen. 


sUMBER : http://www.artikelbagus.com/2012/04/artikel-tentang-sistem-pendidikan.html
 

Pengikut